Jumat, 21 Oktober 2011

pencegahan pencemaran udara


Ayo, Cegah Pencemaran Udara di Sekitar Kita

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia, hewan (fauna) juga tumbuh-tumbuhan (flora). Fakta ini menghadapkan kita pada urgensi melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara serius,
konsisten dan konsekuen. Sebab, sebagaimana diamanatkan Pasal 65 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindu

Ayo, Cegah Pencemaran Udara di Sekitar Kita


Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia, hewan (fauna) juga tumbuh-tumbuhan (flora). Fakta ini menghadapkan kita pada urgensi melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara serius,
konsisten dan konsekuen. Sebab, sebagaimana diamanatkan Pasal 65 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu dimensi kerusakan kualitas lingkungan hidup adalah pencemaran udara, utamanya yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Misalnya aktivitas transportasi, industri, dan aneka pembakaran (kompor, perokok, membakar sampah, membakar hutan dan lain-lain), yang selama ini masih belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan lingkungan hidup.
Padahal, tidak sedikit moda transportasi yang menyebar polusi dan berakibat pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang dilakukan baik secara korporasi (industri) maupun secara individu maupun kelompok masyarakat (perokok dan membakar sampah, bahkan hutan).
Akibatnya, udara yang mengandung sekitar 78 persen Nitrogen, 20 persen Oksigen, 0,93 persen Argon, 0,03 persen Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4) dan Hidrogen (H2) sebagai asupan kehidupan di bumi menjadi rusak. Gejalanya antara lain dapat dirasakan di kota-kota besar yang didominasi oleh asap moda otomotif, berbaur dengan aneka sisa pembakaran baik secara korporasi (industri dll), maupun secara individu dan kelompok masyarakat (perokok dan pembakaran sampah). Ada rasa tidak nyaman saat menghirup udara di lingkungan perkotaan yang ditengarai telah tercemar, terutama di Jakarta.
Kita dapat membedakan antara kondisi sekarang dan masa lalu. Masa lalu, saat otomotif serta aktivitas aneka pembakaran belum membanjiri kehidupan kota, sangat kontradiksi dengan saat ini yang diwarnai dengan membanjirnya moda otomotif dan aktivitas aneka pembakaran. Bila kondisi ini tidak diupayakan pencegahannya, diyakini lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia akan semakin rusak. Kita tidak bisa lagi berharap keharmonisan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi mendatang.
Karenanya, demi tetap lestarinya lingkungan hidup sangat diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sistematis, terpadu dan menyeluruh yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Salah satu diantaranya lewat upaya mencegah pencemaran udara di lingkungan kita masing-masing. Tidak hanya di kota yang telah rentan dengan pencemaran asap kendaraan, tetapi juga di pedalaman yang tidak luput dengan pembakaran hutan.
Fakta Pencemaran
Kemacetan lalulintas di perkotaan kini menimbulkan kecenderungan masyarakat memilih jenis moda angkutan yang bersifat individual, yaitu sepeda motor dengan dalih lebih luwes menerobos kemacetan kota. Hal ini didukung pula dengan aneka kemudahan untuk memilikinya, karena hanya dengan uang Rp 500.000 sebagai uang muka, seseorang sudah dapat mengendarai sepeda motor kreditan.
Walaupun moda ini tergolong boros mengkonsumsi BBM, bahkan berkonstribusi besar terhadap pencemaran udara, namun faktanya tidak satu pihakpun yang dapat berusaha mencegahnya. Termasuk saat terbentuk komunitas "geng motor" yang mendesain kendaraan semaunya, asap tebal dari knalpot ditambah bunyi mesin yang memekakkan telinga seolah menjadi kebanggaan.
Selain itu, otomotif usia tua yang menyebarkan asap tebal berwarna hitam pun masih dibiarkan bebas di tengah kemacatan lalulintas kota. Di Bandung, sejumlah bus Damri yang notabene milik instansi pemerintah juga dibiarkan menebar asap tebal. Di Jakarta, bahkan beberapa kota besar lain di nusantara ini, bus dan truk dengan asap tebal masih "gentayangan" di tengah kemacetan lalulintas kota. Moda angkutan massal pun kini cenderung bergeser ke arah mini, (mungkin) hanya kota Yogyakarta yang bebas dari moda angkutan perkotaan. Selebihnya, hampir semua kota diwarnai dengan moda angkutan kapasitas mini, yaitu angkutan kota alias Angkot.
Aktivitas pembakaran di dalam kota antara lain berasal dari pabrik industri, yang ditandai dengan cerobong asap menjulang tinggi. Tetapi, di tengah pemukiman masyarakat tidak sedikit aktivitas pembakaran yang terjadi meskipun dalam skala mini. Perokok, agaknya menjadi pelaku pembakaran nomor wahid, diikuti dengan pembakaran obat anti nyamuk, serta pembakaran sampah dapur di pojok tertentu pemukiman, yang semua ini tentu berdampak pada pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang masih dominan ada di pedalaman, khususnya saat membuka lahan untuk perkebunan rakyat seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Dari keseluruhan fakta pencemaran yang telah diungkapkan tadi, setidaknya ada dua hal yang paling dominan mencemari lingkungan, yaitu asap kendaraan dan asap pembakaran yang nyaris ditemukan hampir di semua tempat. Oleh karena ini, dalam konteks mencegah pencemaran udara di lingkungan kita, minimal dua sumber asap inilah yang harus dijadikan fokus tindakan. Memang, UU 32 Tahun 2009 tidak memasukkan pasal tentang dua hal ini secara khusus. Tetapi, dari pasal tertentu ada implikasi yang berkorelasi erat dengan urgensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Alternatif Solusi
Banyak solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran udara di sekitar kita. Terhadap pencemaran akibat asap kendaraan, solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Mengembangkan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan, yaitu kereta api, tram atau moda sejenis khususnya yang menggunakan enerji listrik seperti KRL di Jabodetabek atau Mass Rapit Transportation (MRT) di Singapura.
2. Menetapkan kebijakan larangan operasi (pengandangan) terhadap kendaraan dengan emisi gas buang melampaui ambang batas, berasap tebal.
3. Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar.
4. Membudayakan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik.
Terhadap pencemaran akibat aneka pembakaran, limbah dapur (rumah tangga), solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Pengumpulan sampah oleh setiap keluarga dipisahkan antara yang organik dan non organik, sehingga memudahkan pendaurulangan sampah menjadi sesuatu yang berguna. Sampah organik menjadi kompos (pupuk), sampah non organik (plastik) diolah ulang menjadi bahan plastik yang baru dengan campuran lebih dominan bahan organik.
2. Tidak melakukan pembakaran sampah dari daun tanaman yang gugur di halaman, tetapi menguburnya berbaur dengan tanah agar dapat digunakan sebagai kompos.
3. Minimalisasi budaya merokok dan mendiskriminasi komunitas perokok.
4. Membudayakan aktivitas pertanian dengan tidak membakar rerumputan, menguburnya menjadi kompos.
5. Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar, menggantikannya dengan anti nyamuk oles.
6. Menindak siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya;
Untuk mengimplementasikan solusi pada dua topik di atas -asap kendaraan dan asap pembakaran- agar tidak mencemari udara, diperlukan langkah terpadu dan menyeluruh baik unsur pemerintah maupun masyarakat.
Misalnya, terkait dengan UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan. Pasal 48 ayat (3) menyebutkan: "Persyaratan laik jalan ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur minimal meliputi : emisi gas buang, kebisingan suara dll." Artinya, pencemaran akibat asap kendaraan seyogyanya menjadi pengawasan Dinas Perhubungan (Dishub). Lewat penawasan ini, tumbuh kesadaran masyarakat dan tidak menggunakan kendaraan yang berasap tebal di jalan raya.
Meskipun demikian peran Dishub masih sebatas pada kemungkinan mengenakan sanksi kepada pemilik kendaraan dengan asap tebal. Tidak mengcover hal-hal menyangkut kebijakan pengembangan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan; Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar; serta pembudayaan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar departemen dalam mengimplementasikan alternatif solusi yang ditawarkan di atas.
Implementasi solusi untuk mencegah pencemaran akibat aneka pembakaran, disarankan ada dukungan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lewat Perda inilah ditetapkan bagaimana penanganan sampah oleh setiap keluarga dilakukan. Memisahkan antara sampah organik dan sampah non organik, membangun instalasi pengolahan sampah organik menjadi kompos dan sampah non organik menjadi produk daur ulang yang berguna. Tidak melakukan aktivitas pembakaran sampah di mana pun juga yang dapat mencemari udara, tetapi menyediakan lubang untuk mengubur sampah agar menjadi kompos.
Selain itu, Perda juga menetapkan regulasi yang dapat mempersempit ruang gerak perokok dan penggunaan obat anti nyamuk bakar, yang diikuti dengan sanksi tindakan kepada siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya. Sepanjang implementasi sejumlah alternatif solusi ini diawali dengan langkah sosialisasi untuk penyadaran masyarakat (public awareness), serta pendidikan masyarakat (public educations), diyakini tidak akan ada resistensi yang patut dicemaskan.
Apalagi pencemaran udara saat ini semakin nyata adanya. Udara yang kian memanas, curah hujan yang tidak mengikuti kaedah musim, mewabahnya peradangan atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menjadi salah satu indikasi, bahwa udara di sekitar kita sudah tercemari oleh aneka polutan.
Agar udara di sekitar kita tetap mengandung 78 persen Nitrogen, 20 persen Oksigen, 0,93 persen Argon, 0,03 persen Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4) dan Hidrogen (H2), akan lebih bijak lagi kalau di sepanjang jalan yang dilintasi kendaraan berasap ditanampi dengan pepohonan.
Demikian juga masyarakat secara individu maupun kelompok, menyediakan ruang di pekarangan rumah masing-masing untuk menanam pohon yang dapat mereduksi pencemaran udara. Hindari melapisi permukaan tanah di pekarangan rumah dengan plesteran semen, tetapi tanamilah pekarangan rumah dengan pepohonan yang rindang dan menyediakan oksigen untuk kepentingan kita. Sejumlah tindakan tadi, telah berkonstribusi mencegah udara di sekitar kita dari pencemaran, Semoga.ngan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu dimensi kerusakan kualitas lingkungan hidup adalah pencemaran udara, utamanya yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Misalnya aktivitas transportasi, industri, dan aneka pembakaran (kompor, perokok, membakar sampah, membakar hutan dan lain-lain), yang selama ini masih belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan lingkungan hidup.
Padahal, tidak sedikit moda transportasi yang menyebar polusi dan berakibat pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang dilakukan baik secara korporasi (industri) maupun secara individu maupun kelompok masyarakat (perokok dan membakar sampah, bahkan hutan).
Akibatnya, udara yang mengandung sekitar 78 persen Nitrogen, 20 persen Oksigen, 0,93 persen Argon, 0,03 persen Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4) dan Hidrogen (H2) sebagai asupan kehidupan di bumi menjadi rusak. Gejalanya antara lain dapat dirasakan di kota-kota besar yang didominasi oleh asap moda otomotif, berbaur dengan aneka sisa pembakaran baik secara korporasi (industri dll), maupun secara individu dan kelompok masyarakat (perokok dan pembakaran sampah). Ada rasa tidak nyaman saat menghirup udara di lingkungan perkotaan yang ditengarai telah tercemar, terutama di Jakarta.
Kita dapat membedakan antara kondisi sekarang dan masa lalu. Masa lalu, saat otomotif serta aktivitas aneka pembakaran belum membanjiri kehidupan kota, sangat kontradiksi dengan saat ini yang diwarnai dengan membanjirnya moda otomotif dan aktivitas aneka pembakaran. Bila kondisi ini tidak diupayakan pencegahannya, diyakini lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia akan semakin rusak. Kita tidak bisa lagi berharap keharmonisan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi mendatang.
Karenanya, demi tetap lestarinya lingkungan hidup sangat diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sistematis, terpadu dan menyeluruh yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Salah satu diantaranya lewat upaya mencegah pencemaran udara di lingkungan kita masing-masing. Tidak hanya di kota yang telah rentan dengan pencemaran asap kendaraan, tetapi juga di pedalaman yang tidak luput dengan pembakaran hutan.
Fakta Pencemaran
Kemacetan lalulintas di perkotaan kini menimbulkan kecenderungan masyarakat memilih jenis moda angkutan yang bersifat individual, yaitu sepeda motor dengan dalih lebih luwes menerobos kemacetan kota. Hal ini didukung pula dengan aneka kemudahan untuk memilikinya, karena hanya dengan uang Rp 500.000 sebagai uang muka, seseorang sudah dapat mengendarai sepeda motor kreditan.
Walaupun moda ini tergolong boros mengkonsumsi BBM, bahkan berkonstribusi besar terhadap pencemaran udara, namun faktanya tidak satu pihakpun yang dapat berusaha mencegahnya. Termasuk saat terbentuk komunitas "geng motor" yang mendesain kendaraan semaunya, asap tebal dari knalpot ditambah bunyi mesin yang memekakkan telinga seolah menjadi kebanggaan.
Selain itu, otomotif usia tua yang menyebarkan asap tebal berwarna hitam pun masih dibiarkan bebas di tengah kemacatan lalulintas kota. Di Bandung, sejumlah bus Damri yang notabene milik instansi pemerintah juga dibiarkan menebar asap tebal. Di Jakarta, bahkan beberapa kota besar lain di nusantara ini, bus dan truk dengan asap tebal masih "gentayangan" di tengah kemacetan lalulintas kota. Moda angkutan massal pun kini cenderung bergeser ke arah mini, (mungkin) hanya kota Yogyakarta yang bebas dari moda angkutan perkotaan. Selebihnya, hampir semua kota diwarnai dengan moda angkutan kapasitas mini, yaitu angkutan kota alias Angkot.
Aktivitas pembakaran di dalam kota antara lain berasal dari pabrik industri, yang ditandai dengan cerobong asap menjulang tinggi. Tetapi, di tengah pemukiman masyarakat tidak sedikit aktivitas pembakaran yang terjadi meskipun dalam skala mini. Perokok, agaknya menjadi pelaku pembakaran nomor wahid, diikuti dengan pembakaran obat anti nyamuk, serta pembakaran sampah dapur di pojok tertentu pemukiman, yang semua ini tentu berdampak pada pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang masih dominan ada di pedalaman, khususnya saat membuka lahan untuk perkebunan rakyat seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Dari keseluruhan fakta pencemaran yang telah diungkapkan tadi, setidaknya ada dua hal yang paling dominan mencemari lingkungan, yaitu asap kendaraan dan asap pembakaran yang nyaris ditemukan hampir di semua tempat. Oleh karena ini, dalam konteks mencegah pencemaran udara di lingkungan kita, minimal dua sumber asap inilah yang harus dijadikan fokus tindakan. Memang, UU 32 Tahun 2009 tidak memasukkan pasal tentang dua hal ini secara khusus. Tetapi, dari pasal tertentu ada implikasi yang berkorelasi erat dengan urgensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Alternatif Solusi
Banyak solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran udara di sekitar kita. Terhadap pencemaran akibat asap kendaraan, solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Mengembangkan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan, yaitu kereta api, tram atau moda sejenis khususnya yang menggunakan enerji listrik seperti KRL di Jabodetabek atau Mass Rapit Transportation (MRT) di Singapura.
2. Menetapkan kebijakan larangan operasi (pengandangan) terhadap kendaraan dengan emisi gas buang melampaui ambang batas, berasap tebal.
3. Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar.
4. Membudayakan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik.
Terhadap pencemaran akibat aneka pembakaran, limbah dapur (rumah tangga), solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Pengumpulan sampah oleh setiap keluarga dipisahkan antara yang organik dan non organik, sehingga memudahkan pendaurulangan sampah menjadi sesuatu yang berguna. Sampah organik menjadi kompos (pupuk), sampah non organik (plastik) diolah ulang menjadi bahan plastik yang baru dengan campuran lebih dominan bahan organik.
2. Tidak melakukan pembakaran sampah dari daun tanaman yang gugur di halaman, tetapi menguburnya berbaur dengan tanah agar dapat digunakan sebagai kompos.
3. Minimalisasi budaya merokok dan mendiskriminasi komunitas perokok.
4. Membudayakan aktivitas pertanian dengan tidak membakar rerumputan, menguburnya menjadi kompos.
5. Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar, menggantikannya dengan anti nyamuk oles.
6. Menindak siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya;
Untuk mengimplementasikan solusi pada dua topik di atas -asap kendaraan dan asap pembakaran- agar tidak mencemari udara, diperlukan langkah terpadu dan menyeluruh baik unsur pemerintah maupun masyarakat.
Misalnya, terkait dengan UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan. Pasal 48 ayat (3) menyebutkan: "Persyaratan laik jalan ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur minimal meliputi : emisi gas buang, kebisingan suara dll." Artinya, pencemaran akibat asap kendaraan seyogyanya menjadi pengawasan Dinas Perhubungan (Dishub). Lewat penawasan ini, tumbuh kesadaran masyarakat dan tidak menggunakan kendaraan yang berasap tebal di jalan raya.
Meskipun demikian peran Dishub masih sebatas pada kemungkinan mengenakan sanksi kepada pemilik kendaraan dengan asap tebal. Tidak mengcover hal-hal menyangkut kebijakan pengembangan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan; Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar; serta pembudayaan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar departemen dalam mengimplementasikan alternatif solusi yang ditawarkan di atas.
Implementasi solusi untuk mencegah pencemaran akibat aneka pembakaran, disarankan ada dukungan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lewat Perda inilah ditetapkan bagaimana penanganan sampah oleh setiap keluarga dilakukan. Memisahkan antara sampah organik dan sampah non organik, membangun instalasi pengolahan sampah organik menjadi kompos dan sampah non organik menjadi produk daur ulang yang berguna. Tidak melakukan aktivitas pembakaran sampah di mana pun juga yang dapat mencemari udara, tetapi menyediakan lubang untuk mengubur sampah agar menjadi kompos.
Selain itu, Perda juga menetapkan regulasi yang dapat mempersempit ruang gerak perokok dan penggunaan obat anti nyamuk bakar, yang diikuti dengan sanksi tindakan kepada siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya. Sepanjang implementasi sejumlah alternatif solusi ini diawali dengan langkah sosialisasi untuk penyadaran masyarakat (public awareness), serta pendidikan m

Ayo, Cegah Pencemaran Udara di Sekitar Kita


Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia, hewan (fauna) juga tumbuh-tumbuhan (flora). Fakta ini menghadapkan kita pada urgensi melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara serius,
konsisten dan konsekuen. Sebab, sebagaimana diamanatkan Pasal 65 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Salah satu dimensi kerusakan kualitas lingkungan hidup adalah pencemaran udara, utamanya yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Misalnya aktivitas transportasi, industri, dan aneka pembakaran (kompor, perokok, membakar sampah, membakar hutan dan lain-lain), yang selama ini masih belum dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan lingkungan hidup.
Padahal, tidak sedikit moda transportasi yang menyebar polusi dan berakibat pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang dilakukan baik secara korporasi (industri) maupun secara individu maupun kelompok masyarakat (perokok dan membakar sampah, bahkan hutan).
Akibatnya, udara yang mengandung sekitar 78 persen Nitrogen, 20 persen Oksigen, 0,93 persen Argon, 0,03 persen Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4) dan Hidrogen (H2) sebagai asupan kehidupan di bumi menjadi rusak. Gejalanya antara lain dapat dirasakan di kota-kota besar yang didominasi oleh asap moda otomotif, berbaur dengan aneka sisa pembakaran baik secara korporasi (industri dll), maupun secara individu dan kelompok masyarakat (perokok dan pembakaran sampah). Ada rasa tidak nyaman saat menghirup udara di lingkungan perkotaan yang ditengarai telah tercemar, terutama di Jakarta.
Kita dapat membedakan antara kondisi sekarang dan masa lalu. Masa lalu, saat otomotif serta aktivitas aneka pembakaran belum membanjiri kehidupan kota, sangat kontradiksi dengan saat ini yang diwarnai dengan membanjirnya moda otomotif dan aktivitas aneka pembakaran. Bila kondisi ini tidak diupayakan pencegahannya, diyakini lingkungan hidup sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia akan semakin rusak. Kita tidak bisa lagi berharap keharmonisan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi mendatang.
Karenanya, demi tetap lestarinya lingkungan hidup sangat diperlukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara sistematis, terpadu dan menyeluruh yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Salah satu diantaranya lewat upaya mencegah pencemaran udara di lingkungan kita masing-masing. Tidak hanya di kota yang telah rentan dengan pencemaran asap kendaraan, tetapi juga di pedalaman yang tidak luput dengan pembakaran hutan.
Fakta Pencemaran
Kemacetan lalulintas di perkotaan kini menimbulkan kecenderungan masyarakat memilih jenis moda angkutan yang bersifat individual, yaitu sepeda motor dengan dalih lebih luwes menerobos kemacetan kota. Hal ini didukung pula dengan aneka kemudahan untuk memilikinya, karena hanya dengan uang Rp 500.000 sebagai uang muka, seseorang sudah dapat mengendarai sepeda motor kreditan.
Walaupun moda ini tergolong boros mengkonsumsi BBM, bahkan berkonstribusi besar terhadap pencemaran udara, namun faktanya tidak satu pihakpun yang dapat berusaha mencegahnya. Termasuk saat terbentuk komunitas "geng motor" yang mendesain kendaraan semaunya, asap tebal dari knalpot ditambah bunyi mesin yang memekakkan telinga seolah menjadi kebanggaan.
Selain itu, otomotif usia tua yang menyebarkan asap tebal berwarna hitam pun masih dibiarkan bebas di tengah kemacatan lalulintas kota. Di Bandung, sejumlah bus Damri yang notabene milik instansi pemerintah juga dibiarkan menebar asap tebal. Di Jakarta, bahkan beberapa kota besar lain di nusantara ini, bus dan truk dengan asap tebal masih "gentayangan" di tengah kemacetan lalulintas kota. Moda angkutan massal pun kini cenderung bergeser ke arah mini, (mungkin) hanya kota Yogyakarta yang bebas dari moda angkutan perkotaan. Selebihnya, hampir semua kota diwarnai dengan moda angkutan kapasitas mini, yaitu angkutan kota alias Angkot.
Aktivitas pembakaran di dalam kota antara lain berasal dari pabrik industri, yang ditandai dengan cerobong asap menjulang tinggi. Tetapi, di tengah pemukiman masyarakat tidak sedikit aktivitas pembakaran yang terjadi meskipun dalam skala mini. Perokok, agaknya menjadi pelaku pembakaran nomor wahid, diikuti dengan pembakaran obat anti nyamuk, serta pembakaran sampah dapur di pojok tertentu pemukiman, yang semua ini tentu berdampak pada pencemaran udara. Demikian juga aktivitas pembakaran yang masih dominan ada di pedalaman, khususnya saat membuka lahan untuk perkebunan rakyat seperti yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan.
Dari keseluruhan fakta pencemaran yang telah diungkapkan tadi, setidaknya ada dua hal yang paling dominan mencemari lingkungan, yaitu asap kendaraan dan asap pembakaran yang nyaris ditemukan hampir di semua tempat. Oleh karena ini, dalam konteks mencegah pencemaran udara di lingkungan kita, minimal dua sumber asap inilah yang harus dijadikan fokus tindakan. Memang, UU 32 Tahun 2009 tidak memasukkan pasal tentang dua hal ini secara khusus. Tetapi, dari pasal tertentu ada implikasi yang berkorelasi erat dengan urgensi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Alternatif Solusi
Banyak solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran udara di sekitar kita. Terhadap pencemaran akibat asap kendaraan, solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Mengembangkan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan, yaitu kereta api, tram atau moda sejenis khususnya yang menggunakan enerji listrik seperti KRL di Jabodetabek atau Mass Rapit Transportation (MRT) di Singapura.
2. Menetapkan kebijakan larangan operasi (pengandangan) terhadap kendaraan dengan emisi gas buang melampaui ambang batas, berasap tebal.
3. Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar.
4. Membudayakan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik.
Terhadap pencemaran akibat aneka pembakaran, limbah dapur (rumah tangga), solusi yang dapat dilakukan meliputi:
1. Pengumpulan sampah oleh setiap keluarga dipisahkan antara yang organik dan non organik, sehingga memudahkan pendaurulangan sampah menjadi sesuatu yang berguna. Sampah organik menjadi kompos (pupuk), sampah non organik (plastik) diolah ulang menjadi bahan plastik yang baru dengan campuran lebih dominan bahan organik.
2. Tidak melakukan pembakaran sampah dari daun tanaman yang gugur di halaman, tetapi menguburnya berbaur dengan tanah agar dapat digunakan sebagai kompos.
3. Minimalisasi budaya merokok dan mendiskriminasi komunitas perokok.
4. Membudayakan aktivitas pertanian dengan tidak membakar rerumputan, menguburnya menjadi kompos.
5. Tidak menggunakan obat anti nyamuk bakar, menggantikannya dengan anti nyamuk oles.
6. Menindak siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya;
Untuk mengimplementasikan solusi pada dua topik di atas -asap kendaraan dan asap pembakaran- agar tidak mencemari udara, diperlukan langkah terpadu dan menyeluruh baik unsur pemerintah maupun masyarakat.
Misalnya, terkait dengan UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan. Pasal 48 ayat (3) menyebutkan: "Persyaratan laik jalan ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur minimal meliputi : emisi gas buang, kebisingan suara dll." Artinya, pencemaran akibat asap kendaraan seyogyanya menjadi pengawasan Dinas Perhubungan (Dishub). Lewat penawasan ini, tumbuh kesadaran masyarakat dan tidak menggunakan kendaraan yang berasap tebal di jalan raya.
Meskipun demikian peran Dishub masih sebatas pada kemungkinan mengenakan sanksi kepada pemilik kendaraan dengan asap tebal. Tidak mengcover hal-hal menyangkut kebijakan pengembangan moda transportasi yang familiar dengan lingkungan; Membatasi kepemilikan otomotif per keluarga pada jumlah tertentu, bila melampaui batas kepemilikan dikenakan pajak yang besar; serta pembudayaan penggunaan moda angkutan yang bebas pencemaran seperti sepeda dan moda berenerji listrik. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar departemen dalam mengimplementasikan alternatif solusi yang ditawarkan di atas.
Implementasi solusi untuk mencegah pencemaran akibat aneka pembakaran, disarankan ada dukungan Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran lebih lanjut UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lewat Perda inilah ditetapkan bagaimana penanganan sampah oleh setiap keluarga dilakukan. Memisahkan antara sampah organik dan sampah non organik, membangun instalasi pengolahan sampah organik menjadi kompos dan sampah non organik menjadi produk daur ulang yang berguna. Tidak melakukan aktivitas pembakaran sampah di mana pun juga yang dapat mencemari udara, tetapi menyediakan lubang untuk mengubur sampah agar menjadi kompos.
Selain itu, Perda juga menetapkan regulasi yang dapat mempersempit ruang gerak perokok dan penggunaan obat anti nyamuk bakar, yang diikuti dengan sanksi tindakan kepada siapa saja yang melakukan aktivitas pembakaran sekecil apapun skalanya. Sepanjang implementasi sejumlah alternatif solusi ini diawali dengan langkah sosialisasi untuk penyadaran masyarakat (public awareness), serta pendidikan masyarakat (public educations), diyakini tidak akan ada resistensi yang patut dicemaskan.
Apalagi pencemaran udara saat ini semakin nyata adanya. Udara yang kian memanas, curah hujan yang tidak mengikuti kaedah musim, mewabahnya peradangan atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menjadi salah satu indikasi, bahwa udara di sekitar kita sudah tercemari oleh aneka polutan.
Agar udara di sekitar kita tetap mengandung 78 persen Nitrogen, 20 persen Oksigen, 0,93 persen Argon, 0,03 persen Karbon Dioksida (CO2) dan sisanya Neon (Ne), Helium (He), Metan (CH4) dan Hidrogen (H2), akan lebih bijak lagi kalau di sepanjang jalan yang dilintasi kendaraan berasap ditanampi dengan pepohonan.
Demikian juga masyarakat secara individu maupun kelompok, menyediakan ruang di pekarangan rumah masing-masing untuk menanam pohon yang dapat mereduksi pencemaran udara. Hindari melapisi permukaan tanah di pekarangan rumah dengan plesteran semen, tetapi tanamilah pekarangan rumah dengan pepohonan yang rindang dan menyediakan oksigen untuk kepentingan kita. Sejumlah tindakan tadi, telah berkonstribusi mencegah udara di sekitar kita dari pencemaran, Semoga.asyarakat (public educations), diyakini tidak akan ada resistensi yang patut dicemaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar